Ketahanan energi Indonesia turut terancam akibat naiknya harga BBM. Peralihan ke energi terbarukan jadi solusi urgent yang lebih berkelanjutan.
Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Saat ini harga pertalite mencapai Rp10.000 per liter, solar Rp. 6.800 per liter, dan pertamax Rp14.500 per liter. Hal ini memicu protes dari masyarakat yang semakin terhimpit inflasi. Akibatnya, masyarakat melakukan unjuk rasa di sejumlah daerah, salah satunya di gedung DPR RI. Masyarakat menuntut pemerintah untuk menurunkan harga BBM. Lalu, adakah hubungannya antara kenaikan harga BBM dan ketahanan energi?
Potensi Energi Indonesia untuk Ketahanan Energi
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber energi. Baik energi kotor maupun energi bersih, sama-sama punya potensi besar untuk memenuhi kebutuhan energi manusia. Indonesia memiliki 60 ladang minyak bumi yang sudah beroperasi sejak sekian lama. Selain itu, kita juga memiliki sumber energi batu bara yang mencapai 186 miliar ton jumlahnya.
Sementara itu, potensi energi bersih atau terbarukan tidak kalah mumpuni. Kabar baiknya, pilihannya jauh lebih beragam. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki potensi energi surya sebanyak 4,80 kWh/m2/hari, angin 3-6 m/det, air 450 MW, dan biomassa sebanyak 50 GW. Bahkan, ada juga energi nuklir yang bisa menghasilkan energi sebesar 3 GW. Energi-energi tersebut menghasilkan satu produk yang sama yaitu listrik.
Ketahanan Energi Saat Ini
Indonesia yang kaya akan sumber energi, ketahanan energinya masih masuk kategori tahan karena memperoleh skor 6.7 dari 10. Meski banyak memiliki sumber energi, lucunya kita masih belum bisa masuk ke kategori sangat tahan. Bagaimana ini bisa terjadi?
Perlu Generasi Hijau ketahui, tingkat ketahan energi suatu negara ditentukan oleh 4 faktor yaitu, akses energi (accessibility), ramah lingkungan (acceptability), suplai energi (availability), dan harga yang terjangkau (affordability). Dari keempat faktor tersebut, akses energi dan energi ramah lingkungan masih harus digenjot untuk bisa masuk ke kategori sangat tahan. Saat ini, akses energi masih terbatas dan menghadapi tantangan geopolitik dan geografis. Pengembangan sumber energi yang ramah lingkungan pun masih belum jadi prioritas pemerintah.
Kerentanan energi di Indonesia juga dipengaruhi pola konsumsi masyarakat dan bisnis energi yang berorientasi ke energi fosil. Masyarakat saat ini masih sangat tergantung dengan energi fosil. Ketergantungan ini timbul salah satunya karena subsidi BBM membuat harga energi lebih terjangkau. Jika yang disubsidi adalah energi terbarukan, bisa saja masyarakat ikut beralih ke energi terbarukan. Sementara itu, bisnis minyak dan gas masih sangat menguntungkan dan sangat menarik untuk investor. Akibatnya, kebijakan pemerintah masih condong untuk mengembangkan potensi energi fosil.
Kenaikan harga BBM di bulan ini tentunya sangat berpengaruh pada ketahanan energi nasional. Masyarakat akan semakin kesulitan untuk mendapat energi yang jadi salah satu faktor penentu indeks ketahanan energi. Semakin rendah daya beli masyarakat, akan menurunkan tingkat ketahanan energi. Di sisi lain, pemerintah tidak punya pilihan selain menaikkan harga karena harga pasar BBM dunia meningkat hingga Rp. 14.450 untuk pertalite. Ketergantungan pada impor energi fosil akan semakin menjerumuskan Indonesia ke masalah BBM seperti ini.
Solusi Ketahanan Energi
Untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia jadi sangat tahan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, kita perlu meningkatkan pasokan energi karena kebutuhan energi akan terus meningkat setiap tahunnya. Untuk meningkatkan pasokan, kita tidak bisa hanya bergantung pada sumber energi minyak bumi dan batu bara yang jumlahnya terbatas. Indonesia butuh solusi yang lebih berkelanjutan. Oleh karena itu, transisi menuju energi terbarukan harus segera dilakukan. Untuk mendukung transisi ini, pemerintah, masyarakat, dan industri energi harus bekerja sama untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia, teknologi, modal, dan pasar. Saat ini, pemerintah menargetkan peningkatan penggunaan energi terbarukan sebanyak 23% di tahun 2025. Solusi ini jadi kabar baik keberlanjutan lingkungan yang sudah sekian lama terancam aktivitas produksi energi.
Kedua, pemerintah harus melakukan pemerataan akses sumber energi bagi masyarakat Indonesia. Saat ini, masih banyak wilayah di Indonesia yang masih kesulitan untuk mendapatkan energi terutama di kawasan 3T. Beberapa daerah yang berada di kawasan 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) adalah Nias, (Sumatera Utara), Pegunungan Arfak (Papua Barat), Alor (NTT), dan masih banyak lagi. Keterbatasan ini jadi momentum bagus untuk menyediakan suplai energi terbarukan yang lebih mudah dijangkau penduduk di kawasan 3T daripada energi fosil.
Ketiga, adalah efisiensi energi. Solusi ini ditujukan untuk kita sebagai konsumen energi. Kita perlu bijak dalam menggunakan energi. Pasokan energi fosil sudah terbatas dan transisi energi membutuhkan waktu tidak sebentar. Efisiensi penggunaan energi jadi solusi penengah agar ketahanan energi tetap terjaga. Efisiensi bisa dilakukan dengan penghematan energi dan menggunakan energi secara tepat guna. Cara kita mengkonsumsi dan memproduksi energi secara berkelanjutan sangat menentukan masa depan ketahanan energi nasional.