ID
|
Mengenal Kebijakan untuk Ekonomi Hijau

Mengenal Kebijakan untuk Ekonomi Hijau

Green Economy Illustration (Chuttersnap / Unsplash)
Green Economy Illustration (Chuttersnap / Unsplash)

Daftar Isi

Ratusan tahun lamanya, pertumbuhan ekonomi selalu diikuti dengan kerusakan ibu bumi. Ketika produksi dan konsumsi yang kita lakukan tidak mengindahkan prinsip keberlanjutan, di situlah kita membayar berbagai dampak lingkungan. Tentu saja, kelompok masyarakat rentan yang harus membayar paling mahal dampak lingkungan ini, mulai dari habisnya sumber daya alam, polusi, hingga perubahan iklim.

Dalam paradoks ini, ekonomi hijau hadir menengahi. Menurut UN Environment Program, ekonomi hijau adalah ekonomi yang rendah karbon, efisien sumber daya, dan inklusif. Di Indonesia sendiri, implementasi ekonomi hijau sudah direncanakan melalui Peta Jalan Nasional Pertumbuhan Ekonomi Hijau Indonesia.

Layaknya perubahan besar pada umumnya, transisi menuju ekonomi hijau tentunya tidak akan sepenuhnya mulus. Kontraksi bahkan resistensi sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, ada beberapa instrumen yang bisa diluncurkan pemerintah nasional untuk menjadi pelumas transisi ekonomi hijau, mulai dari kebijakan fiskal, standardisasi dan sertifikasi, hingga pembangunan kapasitas pelaku ekonomi.

3 Kebijakan Fiskal Lingkungan untuk Produsen

Setidaknya ada 3 kebijakan fiskal untuk lingkungan yang sudah mulai diimplementasikan berbagai negara. Pertama, instrumen revenue collection, di mana individu dan lembaga dibebankan pajak atau biaya polusi yang mereka hasilkan, misalnya melalui pajak karbon, user charge, atau biaya pengolahan sampah. Dengan begitu, produsen akan didorong untuk berinovasi menciptakan produk yang lebih rendah polusi untuk menekan biaya. Di sisi konsumen, tentu saja mereka akan lebih memilih produk hijau yang lebih harganya lebih kompetitif. Contoh dari instrumen ini adalah kebijakan feebate (fee tambahan untuk mobil dengan emisi karbon tinggi, dan rabate untuk kendaraan emisi efisien) di negara tetangga Singapura.

Kebijakan kedua berbasis expenditure. Secara sederhana, beban biaya produsen yang digunakan untuk inovasi hijau diringankan dengan subsidi, hibah, pinjaman bunga rendah, penyediaan publik, hingga kemitraan dengan pemerintah. Subsidi biasanya diberikan kepada produsen dengan produk yang paling berkelanjutan. Contoh dari instrumen ini adalah feed-in tariff, yakni penetapan harga tetap energi terbarukan di atas standar pasar oleh pemerintah kepada produsen dalam jangka panjang, sehingga memberikan kepastian kepada investor.

Foto 2. Ilustrasi Besarna Penggunaan Lisrik (Matthew Henry / Unsplash)
Foto 2. Ilustrasi Besarna Penggunaan Lisrik (Matthew Henry / Unsplash)

Terakhir, instrumen berbasis pasar. Sesuai namanya, instrumen ini langsung dijalankan di antara produsen, di bawah regulasi pemerintah. Contoh dari instrumen ini adalah offset dalam konteks jual-beli kredit emisi. Secara sederhana, pemerintah atau lembaga tersertifikasi dapat melakukan kegiatan pengurangan karbon yang menghasilkan kredit offset. Kredit ini kemudian dapat dijual kepada produsen atau lembaga lain yang memiliki kewajiban pengurangan emisi.

Di Indonesia sendiri, Kementerian Keuangan tengah mencanangkan beberapa kebijakan fiskal, mulai dari penyusunan Climate Change Fiscal Framework (CCFF), carbon pricing, Energy Transition Mechanism, hingga pooling fund bencana. Indonesia juga akan secara resmi memberlakukan pajak karbon mulai 1 Juli 2022.

Standardisasi dan Sertifikasi untuk Konsumen Berdaya

Jika kebijakan fiskal lebih banyak menyorot produsen sebagai subjeknya, ada pula instrumen yang ditujukan kepada konsumen. Dengan standardisasi dan sertifikasi produk, konsumen diharapkan bisa memilih produk dengan label ramah lingkungan.

Sertifikasi produk diberikan dari lembaga sertifikasi kepada produsen. Untuk mendapatkan sertifikasi, biasanya produsen akan mengisi kuesioner, dan dalam beberapa jenis sertifikasi, mereka harus membayar biaya langganan tahunan (annual fee). Salah satu kritik dari sertifikasi ini adalah sifatnya sukarela atau tidak mengikat untuk semua produsen.

Label sertifikasi terbagi dalam beberapa kategori berdasarkan sektornya: sertifikasi hewan, sertifikasi bisnis yang lebih baik, sertifikasi energi, sertifikasi perdagangan adil (fair trade), sertifikasi hutan, sertifikasi organik, dan sertifikasi laut. Di Indonesia, kini ada 26 sertifikasi produk. Beberapa yang mungkin paling luas beredar adalah sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) yang banyak ditemukan pada produk kertas dan kemasan karton seperti susu, serta Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang mensertifikasi produk turunan kelapa sawit seperti minyak goreng.

Foto 3. RSPO (Research Gate)
Foto 3. RSPO (Research Gate)

Pelatihan untuk Menyongsong Green Jobs

Transisi ekonomi hijau berpotensi menambah atau justru menghilangkan beberapa lapangan pekerjaan. Sebagai contoh, sektor energi terbarukan berpotensi membuka lapangan kerja baru. Sebaliknya, individu yang bekerja di sektor migas, khususnya eksplorasi migas, berpotensi kehilangan pekerjaan. Ada pula pekerjaan yang tergantikan di sektor yang sama. Misalnya, pada sektor persampahan, petugas landfill berpotensi beralih menjadi petugas daur ulang.

Foto 4. Workshop dan Capacity Building Ekonomi Sirkular (Agung Saputra / LCDI)
Foto 4. Workshop dan Capacity Building Ekonomi Sirkular (Agung Saputra / LCDI)

Di Indonesia, mempersiapkan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan green jobs sangat perlu dilakukan agar tidak menjadi bumerang bonus demografi. Pemerintah, sektor swasta, hingga lembaga lainnya, perlu berkolaborasi menggencarkan pengembangan kapasitas dan pelatihan. Greeneration Foundation melalui Indonesia Circular Economy Forum (ICEF) pun turut ambil andil dalam hal ini, dengan cara mengadakan Workshop dan Capacity Building Ekonomi Sirkular  bertema “Memperkuat Implementasi Ekonomi Sirkular di Indonesia” bersama Kementerian PPN/Bappenas dan United Nation Development Programme (UNDP) pada 28-30 Maret 2022 lalu.

Referensi
Bagikan Artikel Ini
Postingan Terkait
Foto Produk Ramah Lingkungan (Jess Morgan / Unsplash)
4 Trend Gaya Hidup Ramah Lingkungan Anti Mainstream
buyerarchy of needs
The Buyerarchy of Needs, Perhitungkan Kembali Sebelum Beli Baju
Ilustrasi sampah makanan. (Foto oleh Rachel Claire dari Pexels)
Indonesia Darurat Sampah Makanan
Ingin Terus Mendapatkan Informasi Terbaru Kami? Berlangganan Sekarang
Dengan berlangganan kamu telah menyetujui Kebijakan Privasi yang berlaku.
img 9429 cleanup

Mau up-date tentang kondisi lingkungan terkini?
Berlangganan sekarang!

Masukkan e-mailmu dan kami akan kirimkan berbagai informasi lingkungan menarik dan berbobot hanya untuk kamu, Generasi Hijau!

Dengan berlangganan kamu telah menyetujui Kebijakan Privasi yang berlaku.