Green Info
21 Maret 2023
Aviaska Wienda Saraswati

Konversi hutan masih marak terjadi di Indonesia. Lahan hutan dimanfaatkan menjadi lahan pertanian, pertambangan, industri, serta pemukiman demi kebutuhan manusia. Konversi hutan sudah kelewat batas. Dampak lingkungan kini di depan mata.
Selamat Hari Hutan Sedunia Generasi Hijau! Setiap tanggal 21 Maret, momen ini jadi titik temu untuk menyebarkan wawasan tentang peranan hutan bagi kehidupan manusia dan semangat untuk melindungi hutan. Apa saja yang perlu kita tahu tentang hutan agar peduli pada keberlanjutannya? Temukan jawabannya di sini!

Indonesia sangat kaya dengan hutannya. Bagaimana tidak? Kita memiliki beragam jenis hutan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Jenis hutan yang ada di tanah air adalah hutan lumut, mangrove, bakau, stepa, rawa, sabana, musim, gugur, dan tropis.
Kekayaan ini membuat Indonesia masuk ke dalam daftar negara yang menjadi paru-paru dunia. Sebutan itu disematkan pada negara-negara yang memiliki luas wilayah hutan yang besar. Indonesia di tahun 2020 menempati posisi ke-8 dengan luas lahan sekitar 95,6 juta hektar (KLHK, 2020).
Luasnya hutan di Indonesia menunjukkan besarnya potensi dari sisi keanekaragaman hayati, ketersediaan sumber pangan, perekonomian, dan kelestarian lingkungan. Sayangnya, potensi tersebut seringkali saling bergesekkan. Ini terjadi karena tidak ada keseimbangan antara pemanfaatan hutan. Kepentingan pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan kerap berlawanan dengan kepentingan pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati. Kasus yang sering terjadi adalah konversi hutan besar-besaran.

Konversi hutan adalah perubahan fungsi kawasan hutan. Biasanya, konversi hutan dilakukan untuk membuka lahan industri, pemukiman, perkebunan, pertanian, pengembangan wilayah, dan pertambangan. Kebiasaan ini sudah ada sejak era kolonialisme dan masih langgeng hingga sekarang.
Realitanya, konversi hutan sering kali menuai pro kontra. Hal ini terjadi karena alih fungsi lahan hanya menguntungkan sebagian pihak dan merusak ekosistem hutan. Belum lagi jika itu dilakukan secara ilegal. Dampaknya jauh lebih buruk dan tidak terkendali.
Salah satu kasus konversi hutan yang sedang hangat diperbincangkan adalah kasus gagalnya program Food Estate yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia. Program pemerintah ini dilaksanakan di beberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Desa Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Hutan yang jadi andalan masyarakat Suku Dayak ini diubah menjadi lahan perkebunan singkong dan sawah. Sayangnya, sekitar 31.000 hektare lahan terbengkalai. Singkong dan padi yang ditanam mengalami gagal panen. Penyebab kegagalan ini diduga karena jenis lahan tidak sesuai untuk ditanami padi dan singkong. Akibatnya, warga kehilangan sumber pangan, kayu, dan sering terdampak banjir akibat tidak adanya lahan serapan air.
Kegagalan ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana perencanaan program ini berjalan sebelum benar-benar siap diimplementasikan. Sebelum ribuan pohon itu ditebang, harusnya pemerintah telah melakukan penelitian yang mendalam dan akurat terkait jenis tanah dan tanaman yang cocok untuk ditanam.
Sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat lokal juga tidak berjalan optimal karena hanya diberikan pada perwakilan kelompok masyarakat saja. Alhasil, masyarakat lokal lagi-lagi hanya menerima imbas janji manis belaka.

Pemerintah Indonesia telah memiliki aturan terbaru terkait konversi hutan. Aturan ini dibuat untuk menjelaskan ketentuan dan mengendalikan konversi hutan. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, Pasal 58 Ayat 1 menjelaskan bahwa pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan di hutan produksi yang dapat dikonversi. Tentunya pelepasan hanya bisa dilakukan setelah melewati tahap penelitian terpadu dan perijinan.
Aktivitas konversi hutan yang tidak tepat guna harus dihentikan. Untuk menghentikannya dibutuhkan penerapan regulasi yang tegas, penelitian yang akurat, konservasi dan upaya rehabilitasi hutan yang melibatkan kolaborasi multi-pihak.
Sebagai masyarakat yang tidak bersentuhan langsung dengan upaya konservasi hutan, kita tetap bisa memberikan kontribusi. Caranya dengan menambah pengetahuan tentang isu kehutanan di Indonesia. Pengetahuan menjadi bekal kamu untuk menyebarkan pengetahuan dan kepedulian terhadap hutan lewat cara yang kreatif.
Selain itu, kamu juga bisa berkontribusi mendukung lembaga konservasi lingkungan menjalankan aksi restorasi. Kamu cukup berdonasi minimal RP. 10.000 di Green Fund Digital Philanthropy (GFDP). Donasi yang kamu berikan akan diubah menjadi upaya pelestarian lingkungan Indonesia. Tunggu apa lagi? Donasi sekarang di donation.greeneration.org!
