Beranda
Publikasi
Green Info
Jejak Iklim di Balik Sampah Kita

Jejak Iklim di Balik Sampah Kita

Green Info

3 November 2025

Fajar Sanintan Jati & Fitria Budiyanti

Banner

Tulisan ini adalah hasil kolaborasi antara LaporIklim dengan Greeneration Foundation

Kesadaran publik mengenai hubungan antara sampah dan krisis iklim masih sangat terbatas. Dalam pandangan umum, isu sampah kerap diperlakukan semata sebagai urusan teknis dan kebersihan lingkungan, bukan sebagai bagian integral dari persoalan iklim.

Padahal, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023), lebih dari 40% emisi metana nasional berasal dari tempat pemrosesan akhir (TPA). Metana merupakan gas rumah kaca dengan potensi pemanasan 28 kali lebih besar dibanding karbondioksida. Artinya, pengelolaan sampah yang buruk bukan hanya menimbulkan masalah estetika atau kesehatan, tetapi juga mempercepat laju pemanasan global.

Krisis sampah menjadi masalah sistemik global yang menyingkap relasi antara produksi, industri, perdagangan, dan regulasi internasional. Sampah tidak bisa lagi dipandang sebagai urusan teknis semata, melainkan persoalan politik dan ekonomi yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan global bekerja: siapa yang memproduksi, diuntungkan, dan menanggung dampaknya.

Kegagalan politik di Jenewa untuk mencapai kesepakatan global tentang pengaturan plastik sekali pakai pada 15 Agustus 2025 bukan sekadar catatan diplomatik. Ia mencerminkan tarik-menarik kepentingan antara ekonomi global dan tanggung jawab lingkungan.

unnamed-4.png

Sumber: Plastic Oddyssey

Negara-negara produsen plastik besar memilih menunda keputusan yang dapat membatasi industri mereka, sementara negara-negara berkembang seperti Indonesia harus menghadapi konsekuensi langsungnya di lapangan. Alih-alih menekan produksi plastik dari hulu, Indonesia justru membuka ruang bagi ekspansi industri bebas fosil, yang akan memperbanyak suplai bahan baku plastik dan menambah beban limbah di hilir.

Tanpa kesepakatan global yang mengikat, akar masalah mulai dari desain produk, pola konsumsi, hingga tanggung jawab produsen tetap tak tersentuh. Akibatnya, negara-negara di jalur perdagangan dan pengiriman limbah, termasuk Indonesia, berisiko terus menjadi “lorong pembuangan” plastik global di tengah lemahnya aturan pengendalian dan penegakan hukum. Dengan demikian, posisi Indonesia dalam perundingan global tidak sepenuhnya sebagai korban sistem perdagangan plastik, melainkan juga sebagai bagian dari mesin produksi yang memperpanjang siklus pencemaran.

Selama satu tahun terakhir, 11,5% laporan masyarakat yang masuk ke platform Lapor Iklim berkaitan langsung dengan persoalan sampah. Laporan-laporan ini datang dari berbagai wilayah: Bandung, Semarang, Surabaya, Samarinda, hingga pesisir seperti Labuan Bajo dan Kupang. Isinya beragam mulai dari tumpukan sampah yang mencemari sungai, pembakaran liar, hingga pencemaran pesisir.

unnamed-5.jpg
unnamed-4.jpg

Sumber: Citizen Reporting LaporIklim

Dari berbagai laporan yang dihimpun, muncul pola berulang yakni TPA di banyak kota dan kabupaten sudah melebihi kapasitas, bahkan sebagian berada dalam kondisi darurat. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti, pemilahan sampah di tingkat rumah tangga masih rendah, sistem pengangkutan dan daur ulang di bawah kapasitas, dan infrastruktur pengelolaan tidak merata antar wilayah. Akhirnya, hal tersebut memberikan dampak domino, mulai dari bau menyengat, munculnya vektor penyakit, hingga penurunan kualitas udara, serta gangguan pernapasan warga sekitar.

Secara normatif, arah kebijakan sebenarnya sudah jelas, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga yang menegaskan kewajiban untuk memilah, mengurangi, dan mengelola sampah secara bertanggung jawab. Regulasi tersebut juga menekankan peran produsen dalam memastikan produk dan kemasannya tidak berakhir menjadi beban lingkungan. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan.

Kelembagaan daerah masih menghadapi kendala besar, mulai dari keterbatasan anggaran hingga minimnya sumber daya manusia yang memahami pengelolaan sampah berkelanjutan. Selain itu, isu sampah seringkali kalah prioritas dibanding proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang lebih mudah terlihat hasilnya. Padahal, data Kementrian Lingkungan Hidup tahun 2025 menunjukkan bahwa setiap kota di Indonesia menghasilkan ratusan hingga ribuan ton sampah per hari.

Tanpa sistem pengelolaan yang memadai, jumlah ini akan terus menumpuk dan menimbulkan dampak sosial, ekonomi, serta ekologis yang semakin kompleks. Kesadaran ini tentu perlu dijawab dengan aksi nyata dan kolaboratif. Setiap pihak punya peran dalam menghadapi persoalan sampah dan iklim.

Sepanjang 2024–2025, tercatat sebanyak 100 kegiatan lingkungan yang berfokus pada pengelolaan sampah berkelanjutan dan aksi iklim di berbagai wilayah Indonesia. Melalui kegiatan edukasi dan pendampingan masyarakat yang dijalankan Greeneration Foundation, terjadi peningkatan pemahaman isu persampahan sebesar 41,04%, berdasarkan hasil survei pre-test dan post-test terhadap 250 penerima manfaat, yang mencakup anak muda, ibu rumah tangga, dan keluarga di berbagai daerah kerja.

Selain edukasi, berbagai inisiatif juga dikembangkan untuk mendorong keterlibatan anak muda dalam aksi lingkungan. Salah satunya melalui program EcoRanger yang berfokus pada penguatan kapasitas dan pendampingan komunitas lokal di bidang pengelolaan sampah. Melalui pelatihan, kampanye, dan aksi lapangan, inisiatif ini turut membangun jejaring anak muda yang aktif berkontribusi dalam perubahan perilaku dan sistem pengelolaan sampah di tingkat daerah.

Secara keseluruhan, kegiatan yang dijalankan bersama berbagai mitra telah mengelola lebih dari 440 ton sampah dan mengurangi lebih dari 571 ton emisi CO₂e. Upaya penanaman lebih dari 4.300 pohon juga berpotensi menyerap sekitar 594 ton CO₂e dalam 10 tahun ke depan, sekaligus memperkuat restorasi lingkungan di kawasan pesisir dan perkotaan. Hingga akhir 2025, berbagai kegiatan ini telah memberikan manfaat bagi lebih dari 9.800 orang dari beragam latar belakang masyarakat.

unnamed-5.png

Sumber: Greeneration Foundation

Program yang dilaksanakan meliputi pembangunan TPS 3R, penerapan eco-roster, pengolahan sampah organik dengan maggot, kegiatan clean-up, serta penanaman mangrove di kawasan pesisir. Seluruh langkah tersebut menjadi bagian dari upaya bersama untuk memperkuat kesadaran bahwa pengelolaan sampah bukan sekadar urusan kebersihan, melainkan juga kontribusi nyata terhadap pengendalian krisis iklim.

Ke depan, keberlanjutan inisiatif ini akan semakin bergantung pada kolaborasi lintas pihak, mulai dari individu yang memilah sampah dari rumah, komunitas yang terus berinovasi, hingga pemerintah yang mendukung dengan kebijakan berkelanjutan.

Editor: Yoesep Budianto

Follow Kita di Google NewsGoogle News
Flag

Bagikan Artikel Ini

Postingan Terkait

  • Thumbnail

    5 Aksi Lingkungan Ala Generasi Hijau

    Baca Selengkapnya
  • Thumbnail

    Home Biogas Bikin Masak Jadi Ramah Lingkungan

    Baca Selengkapnya
  • Thumbnail

    Kelola Sampah Demi Menyelamatkan Lingkungan

    Baca Selengkapnya

Ingin Terus Mendapatkan Informasi Terbaru Kami? Berlangganan Sekarang

Dengan berlangganan kamu telah menyetujui Kebijakan Privasi yang berlaku.